Alexander The Great dikenal di kawasan Melayu dengan nama Iskandar Zulkarnain. Namun ceritanya telah berkembang dan menyebutnya penyebar Islam. Nabi Khidir pembimbing utamanya.
Hai kamu sekalian isi rumahmu dan pada segala sahaya kamu, agama yang benar ini… Bahwa Allah Taala berfirman menyuruh Nabi Khidlir bersama dengan kita menyertai pada segala barang pekerjaanku…."
Kalimat di atas adalah perintah Iskandar Zulkarnain kepada para panglimanya untuk memeluk agama Islam. Dengan suka cita ia mengumumkan bahwa Nabi Khidir diutus Tuhan menemuinya. Kegembiraannya itu juga langsung dikabarkan dengan menulis surat kepada sang guru Aristoteles di Makedonia. Aristoteles pun menjawab girang: "… Bahwa syukurlah hamba akan Allah Taala. Tiadalah akan sia-sia tanaman yang Hamba tanam itu…"
Demikian cuplikan cerita Hikayat Iskandar Zulkarnain. Sebuah cerita tua dari Melayu namun kini sudah jarang kita dengar. Sebuah tafsir imajinatif atas kisah perjalanan Alexander The Great. Hikayat ini menuturkan kelahiran Iskandar Zulkarnain, penaklukan-penaklukannya, sampai kematiannya. Tentu riwayatnya tak seperti yang dilayarperakkan Oliver Stone itu. Meski tetap disebutkan ia lahir di Makedonia, dikenal sebagai murid Aristoteles, wataknya sudah berubah seratus persen. Sebuah saduran yang sama sekali berbeda dengan versi resmi.
Penakluk tiran Darius dari Persia tersebut bukan lagi raja yang dianggap putra Zeus, bukan lagi raja yang keberaniannya sering disepadankan dengan Achiles. Seluruh unsur Yunani dan Helenestik hilang. Alexander menjelma menjadi Iskandar seorang pahlawan Islam, yang tentu saja tidak seperti di film Oliver Stone, memiliki kecenderungan homoseksual. Ia seorang raja diraja yang dianggap menegakkan agama Ibrahim.
Dalam Al-Quran surat Al-Kahfi ayat 83 sampai 101, diceritakan kisah tentang Zulkarnaen yang diberi kekuasaan menaklukkan berbagai kaum yang tinggal di tempat matahari terbenam dan terbit. Inilah biasanya menjadi rujukan bahwa Al-Quran pun merekam keperkasaan Alexander The Great. Bertolak dari surat ini, menurut Law Yock Fang, seorang ahli hikayat dari Malaysia, di dunia Islam mulai Arab, Siria, Parsi, Turki, Hindi, sampai Mongol, timbul kisah-kisah yang menganggap Zulkarnaen atau Alexander itu sesungguhnya penyebar Islam.
Menurut Law Yock Fang, kisah-kisah itu awalnya disadur dari buku seorang pengarang Yunani Mesir pada abad kedua dan ketiga sebelum Masehi bernama samaran Pseudo Callisthenes. Saat Alexander melakukan ekspedisi, seperti digambarkan dalam film karya Oliver Stone, rombongannya juga terdiri dari ilmuwan sampai pedagang. Syahdan, salah seorang ahli sejarah yang ikut bernama Callisthenes. Buku itu disebut Callisthenes karena kemudian ada seorang yang bukan Callisthenes asli tapi mengarang kisah itu.
Tentu saduran tiap negara berbeda-beda, karena khazanah lokal turut meresap. Imajinasi Melayu mungkin berbeda dengan Mongol. Dalam Hikayat Iskandar Zulkarnain, tokoh sentral selain Iskandar adalah Nabi Khidir. Khidir dan Iskandar seolah tak terpisahkan dalam ekspedisi. Khidir, bagaikan tangan Tuhan, seorang pemandu yang membimbing, menentukan ke mana langkah Iskandar pergi. Tak akan berhasil penaklukan-penaklukan Iskandar apabila tak ada sang Nabi. Peran Khidir terlihat lebih besar dari Aristoteles. Aristoteles (yang dalam hikayat disebut sang hakim) memang guru pelajaran Iskandar. Tapi guru sejati yang memberikan kekuatan lahir batin sepanjang perjalanan adalah Khidir.
Nabi Khidir, dalam khazanah spiritual Islam, dikenal seorang misterius. Ia disebut-sebut seorang yang memiliki ilmu ladunni, ilmu yang datang dari rahmat Tuhan langsung. Dalam Surat Al-Kahfi terdapat kisah seorang hamba saleh yang memiliki ilmu kerohanian tinggi dan membimbing Musa. Hamba itu tidak disebut namanya. Tapi cakrawala Islam menyebut hamba itu bernama Khidir. Nurcholish Masjid pernah menulis bahwa nabi Khidlir (al-khidlr) sesungguhnya adalah perlambang dari kebenaran yang selalu hijau dan tak pernah mati (khidir artinya hijau).
Khidir nabi yang sangat populer untuk lingkungan tarekat. Dalam khazanah olah batin Jawa, Sunan Kalijaga, misalnya, disebut dibimbing beliau. Begitu juga Sunan Gunung Jati. Beliau melatih mereka ilmu firasat. Kisah-kisah demikian mungkin justru dipengaruhi Hikayat Iskandar. Sebab, diperkirakan Hikayat IskandarZulkarnain masuk dari Arab pada abad ke-15. Nama Iskandar kemudian ada dalam sejarah-sejarah raja Melayu seperti Bustanussalatin dan Tajussalatin. Bahkan raja-raja Melayu menganggap diri keturunan dari Iskandar.
Konon perjalanan Iskandar akhirnya sampai di Bukit Si Guntang Palembang. Dari Palembang inilah kemudian lahir raja-raja Melayu. Bahkan sampai akhir abad ke-19 di daerah Bukit Lama, Palembang—menurut laporan dua orang Belanda Van Hassel dan Veth, juga tulisan Prof. Siti Chamamah Soeratno, peneliti penyunting hikayat itu dari Universitas Gadjah Mada—terdapat kuburan yang banyak didatangi peziarah dan dipercaya sebagai makam Iskandar.
Menurut versi Melayu itu perkenalan pertama Iskandar dengan Khidir terjadi setelah penaklukan Parsi. Khidir datang memperingatkan kejumawaan Iskandar. Iskandar marah, dan bermaksud menghukum mati Khidir yang tak dikenalnya. Namun Khidir secara gaib lolos. Iskandar tambah terkejut tatkala melihat Khidir mampu berjalan di atas air. Sang raja insaf, ia tergelincir bisikan iblis. Kemudian keduanya melakukan perjalanan penyebaran Islam. Inilah inti Hikayat Iskandar Zulkarnain. Isinya perjalanan Khidir dan Iskandar yang penuh liku-liku. Naik-turun gunung, menyusuri laut, pergi ke dimensi lain.
Ada sejumlah nama lokasi yang bisa kita raba maksudnya, seperti Andalusia, Habsyi, Mesir, Negeri Berber, Parsi, Isfahan. Tapi juga ada negeri yang sama sekali tak populer di dunia kontemporer seperti Ghanab, Fansirin, Fuz, Barqa, Lallan. Khidir menyatakan bahwa Allah akan menyerahkan seluruh wilayah Masyrik dan Magribi kepada Iskandar. Mereka pergi ke tempat yang tak pernah dijamah manusia. Ke dua negeri yang dianggap ujung dunia: Jabarsa dan Jabarka.
Membaca hikayat ini memiliki keasyikan tersendiri. Perjalanannya sangat imajinatif, kadang surealis. Keduanya sampai memiliki 500 ribu balatentara berkendaraan kuda, jerapah, burung api, burung babil. Saat melintasi sebuah laut, misalnya, terdengar suara amat besar. Iskandar terkejut dan bertanya kepada Khidir: "Suara apakah ini ya nabi Allah?" Sahut Khidir: "Barang diketahui Syah Alam bahwa itulah suara Fur-Fur. Itulah tempat datang air sungai dan segala mata air yang ada datang di muka bumi semuanya dari sanalah datangnya itu."
Beberapa adegan hikayat memiliki fantasi sangat kuat. Terbayangkan secara visual tentu memikat bila dipanggungkan oleh dramawan-dramawan yang suka mengangkat mitologi dalam bentuk futuris macam Robert Wilson. Misalnya, adegan Iskandar melakukan perjalanan ke dasar laut. Sang baginda dimasukkan ke peti. Peti diikat tali, kemudian diulurkan ke laut lalu hanyut. Lantas datang seekor ikan besar menelan peti itu. Ikan itu berenang cepat ke dasar. "La ilaha illa 'l-lah Wah-dahu la syari kala," seru Iskandar. Begitu kata La ilaha illa, peti langsung termuntahkan dari mulut ikan, dan Iskandar keluar dari peti. Ia lalu melihat sesuatu yang gaib: tujuh tingkatan bumi.
Dari jauh kemudian terlihat sesosok datang. "Siapa engkau ini selamanya aku dijadikan Allah Taala seribu tahun lamanya aku di sini tiada pernah aku lihat seorang makhluk pun sampai kemari," tanya orang itu. Iskandar menjawab: "Akulah yang bernama Iskandar, anak Raja Darab, Rum bangsanya. Aku Zulkarnain gelarku, Makaduniah nam negriku. Diserahkan Allah Taala kerajaan segala (muka) bumi ini kepadaku dari masyrik ke magrib…. Tetapi siapa nama Tuan Hamba? "Maka kata orang itu, "Hamba seorang malaikat yang membahagikan segala air laut dalam dunia ini…."
Pada layar lebar, Oliver Stone memusatkan perhatian pada Alexander dan pengawalnya, dan tak secara detail menggambarkan para ilmuwan yang menjadi inti rombongannya. Tapi Hikayat banyak melukiskan Nabi Khidir, pendamping, panglima, sekaligus ilmuwan. Ia yang menyiapkan perjalanan mulai dari perintisan sampai arah penaklukan. Seperti pernah dikatakan oleh Prof Siti Chamamah Soeratno, peran Nabi Khidir dalam perjalanan itu sebagai benar-benar guru yang "mahatahu". Khidir paham segala faktor geografis, jenis tanah, arah mata angin, arah sumber air, dari asal-usul suatu bangsa sampai kitab-kitab mereka.
Iring-iringan pasukan Iskandar mencerminkan citra kebesarannya. Dalam iring-iringan itu Nabi Khidir selalu berjalan di barisan paling depan, sementara Iskandar di barisan paling belakang. Perjalanan tanpa henti, bahkan sampai daerah-daerah yang paling tandus, paling kerontang. Khidir seorang yang memiliki kemampuan mengetahui sumber air.
Seperti juga bila membaca epos Ulysses atau perjalanan Saweri Gading dalam epos asal Sulawesi: La Galigo, perjalanan Iskandar kerap bertemu makhluk aneh. Khidir dikisahkan, di samping menguasai berbagai bahasa manusia, juga menguasai bahasa binatang dan makhluk halus. Digambarkan akhirnya banyak kaum yang tadinya memuja bintang, matahari, berhala, atau binatang akhirnya semuanya masuk Islam.
Sering kali dalam pertempuran pasukan lawan jauh lebih besar. Tapi, dengan kekuatan doa dan sembahyang, Khidir mampu mengempaskan musuh. Bahkan Iskandar akhirnya mampu menaklukkan dunia jin, sebuah prestasi yang bahkan tidak bisa dicapai Nabi Sulaiman. Itulah sebabnya para lawan Iskandar dalam setiap pertempuran selalu mengincar Khidir terlebih dulu. Ibarat kartu truf, bila dia kalah, semua akan keok. Tapi sang Nabi tak ada tandingan.
Rata-rata lawan gentar kepadanya. Terasa, seperkasa-perkasanya Iskandar, ia pun masih "di bawah" Khidir. Suatu kali Iskandar, misalnya, ingin mencari sumur hayat. Mengingatkan cerita Dewaruci, tatkala Bima menyelam jauh ke dasar untuk mencari Banyu Prawitasari, Bima yang bersusah payah mencari air suci itu, namun akhirnya gagal. Sementara Khidir tak berniat malah mendapat air hayat tersebut. Dan Iskandar hanya manusia, sekalipun ia seorang raja, batasnya selalu ada.
Betapapun demikian, Iskandar begitu patuh, tetap berbesar hati, mau mengikuti seluruh petunjuk Khidir. Bahkan untuk memilih kuda atau pasukan pun, ia butuh nasihat. "Ya Nabi Alah pilih pulak oleh Tuan hamba di dalam sekalian tentara ini seratus ribu orang yang bersama-sama dengan Tuan," kata Iskandar. Bila ragu-ragu, ia selalu bertanya. Bila hendak melanjutkan perjalanan, ia berkonsultasi: "Ke mana arah kita selanjutnya ya Bapa Abbas" (Iskandar sering memanggil Khidir demikian). Kadang-kadang Iskandar digambarkan merasa takut, gamang hatinya, bila Khidir tak bersamanya. Ia tak seperti Musa. Musa yang mohon bimbingan Khidir, tapi akhirnya tidak tahan berjalan bersama Khidir.
Saat membimbing Musa, Khidir suatu kali merusak perahu milik nelayan miskin, membunuh bocah yang sedang asyik bermain, menegakkan tembok rumah yang roboh di suatu desa yang penduduknya tak ramah. Musa yang terlalu rasional memprotes keras-keras. Sebelum mereka berpisah, Khidir memberikan penjelasan. Dan Musa sadar, tindakan itu ternyata ada maksudnya. Dengan kata lain, Musa kurang sabar membaca sasmita. Sementara Iskandar digambarkan tanpa kesulitan mengikuti petunjuk Khidir. Mulanya Khidir ragu apakah Iskandar bakal tahan bersamanya, ternyata "lulus ujian".
Dalam film karya Oliver Stone ada salah satu adegan yang indah. Ketika itu Alexander, di pegunungan Afganistan, berdiri sendiri memandang pegunungan Hindukush. Berselimut mantel merah, menggigil kedinginan, ia beku. Bibirnya, alisnya, semua tertutup salju. Menurut sahibul hikayat dari Hindi itu, rombongan Iskandar berjalan sampai Sumatera. Ia berkelana ke Aceh, Siak, Kampar, Minangkabau. Di setiap negeri itu Iskandar mengawini putri raja setempat. Sesudah putra-putranya lahir, ia undur diri. Tuan-tuan, anak-anak itulah yang—dalam cerita—kelak menjadi raja-raja kita.